Cipto, Juna Dan Edy : Dongeng Ilham 3 Sahabat
Cipto, Juna dan Edy yaitu 3 sahabat yang saling mendukung satu sama lain dan memiliki mimpi yang sama, bagaimana hal ini bisa menjadi isnpirasi bagi kita semua? mari simak dongeng singkatnya dan semoga bermanfaat.
Inspirasi CIPTOJUNAEDY CS
Cipto Junaedy - Siang itu sungguh sangat terik. Tak ada awan yang menaungi ketiga santri yang tengah menjalani eksekusi ‘jemur’ di tengah lapangan basket. Cipto Junaedy - Hukuman yang mereka dapati sehabis kabur pada suatu malam ke sebuah bioskop di kota akrab pesantrennya. Ya, santri juga manusia, ingin mencicipi kebebasan meski hanya sebentar saja. Ingin menikmati malam nan indah di tengah hingar bingar kota. Tetapi inilah konsekuensi yang harus mereka terima. Bukan hanya mereka, tetapi siapa pun yang mencoba keluar dari pesantren tanpa sepengetahuan abang pengurus bab keamanan maka menyerupai itulah hukumannya, dijemur di tengah lapangan, rambut di gunduli, dan digantungi kata-kata yang memalukan. Dan ketiga santri itu mau tak mau harus mendapatkan dengan tulus segala eksekusi itu.
“Man, lihat Ustad Andi bawa gunting. Pasti kita mau dibotakin!” Ujar Edy sedikit ketakutan.
“Baru dibotak. Itu sudah biasa!”Timpal Juna.
“Sudah kelas lima, masak masih takut dibotak, Her?!” Kata Cipto enteng saja.
Ustad Andi semakin mendekat. Gunting yang dipegangnya mengkilau terkena pancaran terik matahari siang itu. Sementara suasana pesantren penuh sesak, di lantai dua asrama puteri, di depan teras kelas, di masjid, berjuta pasang mata santri tertuju pada ketiga santri di tengah lapangan itu.
“Inzil at that. Turun!” perintah ustad Andi kepada ketiga santri itu. Mereka lekas menurutinya.
“Maadza syaahadtum fil baarihah. Apa yang kalian tonton tadi malam?” Bentak ustad Andi.
“Film perihal semangat, Ustad.” Jawab Cipto.
“Al maudhu’. Judulnya?”
“Mengejar Matahari.” Kata Juna.
“Sebelumnya kami minta maaf, ustad, kami akui kami salah. Tapi film tersebut harus kami tonton.” Kata Edy.
“Untuk apa? Apa pentingnya buat kalian?”
“Penting. Bahkan sangat penting!” Timpal Cipto.
“Untuk masa depan kami!” Lalu kata Juna.
“Masa depan? Bulshit!”
“Mungkin kini ustad katakan bulshit. Tetapi suatu dikala kami niscaya bisa menyerupai mereka.” Kata Juna.
Tegang. Wajah ustad Andi semakin memerah marah. Sementara ketiga santri itu tenang-tenang saja ditengah ketakutannya.
“Apa mimpi kamu?” ustad Andi menunjuk Juna.
“Sutradara! Saya ingin menyerupai Hanung Bramantyo.”
“Kamu…?!” Kali ini menunjuk Edy.
“Produser!”
“Seperti siapa?” Bentak ustad Andi.
“Dedy Mizwar!”
“Kamu, Cipto!”
“Saya ingin menyerupai Emha Ainun Nadjib. Beliau sangat hebat. Penulis naskah drama. Puitis. Berdakwah dengan seni…”
Ustad Andi menyeringai, “Bulshit! Kalian hanya omong kosong. Santri tidak begitu. Santri harus terjun kepada masyarakat, menjadi guru misalnya.”
Ketiga santri itu hanya membisu saja, jauh di lubuk hatinya masing-masing mereka berontak. Mereka berkeyakinan akan pertanda mimpi-mimpi yang diucapkannya barusan. Dan kemudian dengan lincah ustad Andi menggunting rambut mereka bertiga.
“Setelah ini diklimis! Tak ada sisa sehelai rambut pun!”
Dan para santri yang menonton pun harus kembali ke kelasnya. Cerita siang ini cukup hingga di sini.
Sehari-hari sehabis insiden di lapangan itu, ketiga santri yang kini tak berrambut semakin ingin mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang bukan terlahir dari spontanitas di lapangan itu. Tetapi mimpi itu telah tertanam lama dari diri mereka. Di pesantren ini, siapa yang tak kenal dengan Cipto? Puluhan karya tulisnya selalu terpajang di mading pesantren. Bahkan banyak dari kalangan santriwati yang tersihir oleh kalimat indahnya. Buktinya, banyak surat berdatangan kepada Cipto, namun ia tak menanggapinya dengan serius.
Lalu, siapa yang tak kenal dengan Juna si nakal yang ngeyel? Tetapi tak ada yang bisa mengalahkannya dalam bidang drama atau seni peran. Dalam setiap pentas drama, Junalah sang tokoh utama. Karena kehebatannya itu, kepadanya dititipkan amanah sebagai ketua drama di pesantren ini.
Sementara Edy, ia yaitu si tampan yang banyak pengikutnya. Ia kolam raja, apapun keinginannya, cukup dengan sedikit kata dan telunjuk berbicara niscaya kesampaian. Dari bentuk wajahnya, ia memang berbakat menjadi orang besar.
Itulah tiga santri gundul yang bercita-cita menggemparkan pesantren ini dengan mimpi-mimpi mereka.
“Man, ada dongeng cantik nggak?” Tanya Juna.
“Buanyak. Untuk apa, Gung?”
“Ah, ente kaifa, Man. Penulis gak tahu informasi. Acara Panggung Gembira tinggal beberapa bulan lagi. Kita garap, kawan!”
“Oke. Siap!”
“Masalah dana, peralatan, pemain, supaya produser kita yang urus. Kita bab teknis dan lapangan…” kata Juna.
“Oke, kawan. Saya akan tulis skenarionya. Kebetulan saya punya dongeng cantik perihal pesantren kita ini..”
“Sipp!, kita buktikan kepada ustad sombong itu, bahwa mimpi-mimpi kita bisa kita wujudkan…” mereka ber-tos dan saling menggenggam erat tangan.
“Man jadda wajada!” ujar keduanya.
Satu minggu, dua minggu Cipto menulis skenario untuk dipentaskan pada program panggung bangga sebagai program puncak tahunan pesantren. Edy telah menyeleksi semua pemainnya. Juna pun telah bersiap dengan strateginya menyutradarai skenario Cipto ke dalam sebuah drama.
“DI SINI AKU BAHAGIA” Itulah judul yang berhasil ditulis oleh Cipto. Berkisah perihal sindiran keadaan pesantren ini, berkisah perihal santri yang mencoba mewujudkan impiannnya. Berkisah perihal segala insiden di pesantren. Ketika membaca naskah ini, Juna pribadi sepakat, menurutnya dongeng ini akan menggegerkan pesantren, akan membangkitkan semangat bagi siapa saja yang menyaksikannya.
“Bukan main. Ini dongeng dahsyat, kawan! Tak kusangka kau bisa menulisnya.”
“Jangan disangka-sangka, kawan. Begitulah seorang penulis. Tampang bukanlah cermin dirinya. Tetapi hati, saya menulis itu dengan hati…!”
“Ah, lebay ente, Man!” Edy memukul pundaknya.
“Jum’at sore kita latihan!” Ujar Juna, sang sutradara.
“Siap!” Seru Edy dan Cipto.
Dan siang itu, ruang kelas ini menjadi saksi bagi mereka bertiga, mimpi-mimpi mereka akan segera terwujud.
Waktu sungguh tak terasa, berjalan dengan sendirinya mengantarkan hari silih berganti, mengantarkan bulan kepada bulan lain. Dan hari ini, sampailah pada bulan yang ditunggu-tunggu oleh tiga santri itu. Bukan menunggu tumbuhnya rambut mereka yang telah digunduli beberapa bulan lalu. Tetapi dikala ini yang mereka tunggu yaitu pembuktian kepada siapa saja, bahwa kali ini mimpi-mimpi mereka akan terwujud.
Jum’at kali ini, tepat pada awal bulan Agustus sehabis sholat Jum’at akan diadakan gladi resik. Tentu bukan hanya kelompok Juna saja yang ikut serta dalam program panggung bangga nanti, banyak kelompok lain yang akan menampilkan naskah dramanya. Tapi Juna tak ciut nyali. Meski memang panggung bangga ini yaitu kali pertamanya bergabung bersama Cipto dan Edy. Beberapa tahun lalu, Juna bersama kelompok yang lain. Yang menjadi pegangan mereka dikala ini adalah, man jadda wajada.
“Aku pesan pada kalian, kawan. Percaya diri! Yakinlah pada kemampuan kalian. Meski kita kecil, meski kita baru, tetapi dengan semangat, niscaya kita bisa!” Ujar Juna pada para kru dan pemainnya.
Beberapa hari sehabis gladi resik, dongeng yang disutradarai Juna menjadi buah bibir di seluruh penjuru pesantren. Semua santri putera dan puteri membicarakannya. Bertanya-tanya, dongeng apa yang dibawakannya. Semua menanti-nanti malam panggung bangga itu.
Dan malam yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Panggung utama begitu megah, background bersetting khas padang pasir dan paduan pesantren. Lampu-lampu kelap-kelip mewarnai pesantren ini. Merah, kuning, hijau, biru, banyak sekali warna menjadi satu.
Cipto membacakan narasinya, para pemain menaiki panggung dengan kostum yang berbeda, lampu panggung pun mulai dinyalakan. Ketika tugas dimainkan dengan sempurna, semua mata terbelalak tertuju ke arah panggung. Haru-biru, tawa-tangis, benci-cinta, menyatu.
“Siapa yang nulis dongeng ini, dahsyat banget?” tanya ustad Andi kepada ustad yang lain.
“Cipto, Tad. Sutradaranya Juna dan produsernya Edy!”
“Mereka hebat, bukan? Rupanya kita telah meremehkan kemampuan mereka. Mereka telah membuktikannya dengan sepenuh hati. Saya jadi teringat sebuah pepatah, man taanna naala ma tamanna, siapa yang berangan-angan ia niscaya akan mendapatkan apa yang diangan-angankannya, tentunya selama ia mau berusaha untuk mewujudkannya!”
Cipto, Juna dan Edy, kini jadi buah bibir yang menggemparkan pesantren. Cipto telah berhasil menjadi Emha Ainun Nadjib. Juna telah berhasil menjadi Hanung dan Edy juga berhasil menjadi Dedi Mizwar.
Maka bermimpilah kalian wahai kawan!
NB: kisah ini saya ambil dari http://hubbulkitabah.wordpress.com/2013/05/31/sebuah-cerpen-inspired-by-3-idiots/ apabila ada kesamaan nama, cerita, dan daerah itu memang disengaja :D
Regard,
Cipto Junaedy
“Man, lihat Ustad Andi bawa gunting. Pasti kita mau dibotakin!” Ujar Edy sedikit ketakutan.
“Baru dibotak. Itu sudah biasa!”Timpal Juna.
“Sudah kelas lima, masak masih takut dibotak, Her?!” Kata Cipto enteng saja.
Ustad Andi semakin mendekat. Gunting yang dipegangnya mengkilau terkena pancaran terik matahari siang itu. Sementara suasana pesantren penuh sesak, di lantai dua asrama puteri, di depan teras kelas, di masjid, berjuta pasang mata santri tertuju pada ketiga santri di tengah lapangan itu.
“Inzil at that. Turun!” perintah ustad Andi kepada ketiga santri itu. Mereka lekas menurutinya.
“Maadza syaahadtum fil baarihah. Apa yang kalian tonton tadi malam?” Bentak ustad Andi.
“Film perihal semangat, Ustad.” Jawab Cipto.
“Al maudhu’. Judulnya?”
“Mengejar Matahari.” Kata Juna.
“Sebelumnya kami minta maaf, ustad, kami akui kami salah. Tapi film tersebut harus kami tonton.” Kata Edy.
“Untuk apa? Apa pentingnya buat kalian?”
“Penting. Bahkan sangat penting!” Timpal Cipto.
“Untuk masa depan kami!” Lalu kata Juna.
“Masa depan? Bulshit!”
“Mungkin kini ustad katakan bulshit. Tetapi suatu dikala kami niscaya bisa menyerupai mereka.” Kata Juna.
Tegang. Wajah ustad Andi semakin memerah marah. Sementara ketiga santri itu tenang-tenang saja ditengah ketakutannya.
“Apa mimpi kamu?” ustad Andi menunjuk Juna.
“Sutradara! Saya ingin menyerupai Hanung Bramantyo.”
“Kamu…?!” Kali ini menunjuk Edy.
“Produser!”
“Seperti siapa?” Bentak ustad Andi.
“Dedy Mizwar!”
“Kamu, Cipto!”
“Saya ingin menyerupai Emha Ainun Nadjib. Beliau sangat hebat. Penulis naskah drama. Puitis. Berdakwah dengan seni…”
Ustad Andi menyeringai, “Bulshit! Kalian hanya omong kosong. Santri tidak begitu. Santri harus terjun kepada masyarakat, menjadi guru misalnya.”
Ketiga santri itu hanya membisu saja, jauh di lubuk hatinya masing-masing mereka berontak. Mereka berkeyakinan akan pertanda mimpi-mimpi yang diucapkannya barusan. Dan kemudian dengan lincah ustad Andi menggunting rambut mereka bertiga.
“Setelah ini diklimis! Tak ada sisa sehelai rambut pun!”
Dan para santri yang menonton pun harus kembali ke kelasnya. Cerita siang ini cukup hingga di sini.
Cipto Juna Edy 3 Sahabat
Sehari-hari sehabis insiden di lapangan itu, ketiga santri yang kini tak berrambut semakin ingin mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang bukan terlahir dari spontanitas di lapangan itu. Tetapi mimpi itu telah tertanam lama dari diri mereka. Di pesantren ini, siapa yang tak kenal dengan Cipto? Puluhan karya tulisnya selalu terpajang di mading pesantren. Bahkan banyak dari kalangan santriwati yang tersihir oleh kalimat indahnya. Buktinya, banyak surat berdatangan kepada Cipto, namun ia tak menanggapinya dengan serius.
Lalu, siapa yang tak kenal dengan Juna si nakal yang ngeyel? Tetapi tak ada yang bisa mengalahkannya dalam bidang drama atau seni peran. Dalam setiap pentas drama, Junalah sang tokoh utama. Karena kehebatannya itu, kepadanya dititipkan amanah sebagai ketua drama di pesantren ini.
Sementara Edy, ia yaitu si tampan yang banyak pengikutnya. Ia kolam raja, apapun keinginannya, cukup dengan sedikit kata dan telunjuk berbicara niscaya kesampaian. Dari bentuk wajahnya, ia memang berbakat menjadi orang besar.
Itulah tiga santri gundul yang bercita-cita menggemparkan pesantren ini dengan mimpi-mimpi mereka.
“Man, ada dongeng cantik nggak?” Tanya Juna.
“Buanyak. Untuk apa, Gung?”
“Ah, ente kaifa, Man. Penulis gak tahu informasi. Acara Panggung Gembira tinggal beberapa bulan lagi. Kita garap, kawan!”
“Oke. Siap!”
“Masalah dana, peralatan, pemain, supaya produser kita yang urus. Kita bab teknis dan lapangan…” kata Juna.
“Oke, kawan. Saya akan tulis skenarionya. Kebetulan saya punya dongeng cantik perihal pesantren kita ini..”
“Sipp!, kita buktikan kepada ustad sombong itu, bahwa mimpi-mimpi kita bisa kita wujudkan…” mereka ber-tos dan saling menggenggam erat tangan.
“Man jadda wajada!” ujar keduanya.
Satu minggu, dua minggu Cipto menulis skenario untuk dipentaskan pada program panggung bangga sebagai program puncak tahunan pesantren. Edy telah menyeleksi semua pemainnya. Juna pun telah bersiap dengan strateginya menyutradarai skenario Cipto ke dalam sebuah drama.
“DI SINI AKU BAHAGIA” Itulah judul yang berhasil ditulis oleh Cipto. Berkisah perihal sindiran keadaan pesantren ini, berkisah perihal santri yang mencoba mewujudkan impiannnya. Berkisah perihal segala insiden di pesantren. Ketika membaca naskah ini, Juna pribadi sepakat, menurutnya dongeng ini akan menggegerkan pesantren, akan membangkitkan semangat bagi siapa saja yang menyaksikannya.
“Bukan main. Ini dongeng dahsyat, kawan! Tak kusangka kau bisa menulisnya.”
“Jangan disangka-sangka, kawan. Begitulah seorang penulis. Tampang bukanlah cermin dirinya. Tetapi hati, saya menulis itu dengan hati…!”
“Ah, lebay ente, Man!” Edy memukul pundaknya.
“Jum’at sore kita latihan!” Ujar Juna, sang sutradara.
“Siap!” Seru Edy dan Cipto.
Dan siang itu, ruang kelas ini menjadi saksi bagi mereka bertiga, mimpi-mimpi mereka akan segera terwujud.
Waktu sungguh tak terasa, berjalan dengan sendirinya mengantarkan hari silih berganti, mengantarkan bulan kepada bulan lain. Dan hari ini, sampailah pada bulan yang ditunggu-tunggu oleh tiga santri itu. Bukan menunggu tumbuhnya rambut mereka yang telah digunduli beberapa bulan lalu. Tetapi dikala ini yang mereka tunggu yaitu pembuktian kepada siapa saja, bahwa kali ini mimpi-mimpi mereka akan terwujud.
Jum’at kali ini, tepat pada awal bulan Agustus sehabis sholat Jum’at akan diadakan gladi resik. Tentu bukan hanya kelompok Juna saja yang ikut serta dalam program panggung bangga nanti, banyak kelompok lain yang akan menampilkan naskah dramanya. Tapi Juna tak ciut nyali. Meski memang panggung bangga ini yaitu kali pertamanya bergabung bersama Cipto dan Edy. Beberapa tahun lalu, Juna bersama kelompok yang lain. Yang menjadi pegangan mereka dikala ini adalah, man jadda wajada.
“Aku pesan pada kalian, kawan. Percaya diri! Yakinlah pada kemampuan kalian. Meski kita kecil, meski kita baru, tetapi dengan semangat, niscaya kita bisa!” Ujar Juna pada para kru dan pemainnya.
Beberapa hari sehabis gladi resik, dongeng yang disutradarai Juna menjadi buah bibir di seluruh penjuru pesantren. Semua santri putera dan puteri membicarakannya. Bertanya-tanya, dongeng apa yang dibawakannya. Semua menanti-nanti malam panggung bangga itu.
Dan malam yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Panggung utama begitu megah, background bersetting khas padang pasir dan paduan pesantren. Lampu-lampu kelap-kelip mewarnai pesantren ini. Merah, kuning, hijau, biru, banyak sekali warna menjadi satu.
Cipto membacakan narasinya, para pemain menaiki panggung dengan kostum yang berbeda, lampu panggung pun mulai dinyalakan. Ketika tugas dimainkan dengan sempurna, semua mata terbelalak tertuju ke arah panggung. Haru-biru, tawa-tangis, benci-cinta, menyatu.
“Siapa yang nulis dongeng ini, dahsyat banget?” tanya ustad Andi kepada ustad yang lain.
“Cipto, Tad. Sutradaranya Juna dan produsernya Edy!”
“Mereka hebat, bukan? Rupanya kita telah meremehkan kemampuan mereka. Mereka telah membuktikannya dengan sepenuh hati. Saya jadi teringat sebuah pepatah, man taanna naala ma tamanna, siapa yang berangan-angan ia niscaya akan mendapatkan apa yang diangan-angankannya, tentunya selama ia mau berusaha untuk mewujudkannya!”
Cipto, Juna dan Edy, kini jadi buah bibir yang menggemparkan pesantren. Cipto telah berhasil menjadi Emha Ainun Nadjib. Juna telah berhasil menjadi Hanung dan Edy juga berhasil menjadi Dedi Mizwar.
Maka bermimpilah kalian wahai kawan!
NB: kisah ini saya ambil dari http://hubbulkitabah.wordpress.com/2013/05/31/sebuah-cerpen-inspired-by-3-idiots/ apabila ada kesamaan nama, cerita, dan daerah itu memang disengaja :D
Regard,
Cipto Junaedy
Belum ada Komentar untuk "Cipto, Juna Dan Edy : Dongeng Ilham 3 Sahabat"
Posting Komentar